Jangan Pernah

Rabu, 02 Juni 2010

Kebodohan

Kiai Amin yang sibuk sebagai anggota DPR ingin mencari nasihat dari seniornya, Kiai Imam, yang juga sibuk menjadi anggota DPR. Kiai Amin bartanya, “Mas, apa resepnya agar pesantren kita tetap berjalan dengan baik walaupun kita sibuk menjadi anggota DPR?“
“Kita harus mempunyai asisten yang yang pandai. Seperti aku yang mempunyai asisten yang pandai dan cerdas. Kang Rosyid namanya,“ kata Kiai Imam.
“Lalu bagaimana caranya agar kita tahu bahwa asisten kita itu cerdas?“ kata Kiai Amin.
Kemudian Kiai Imam memanggil Kang Rosyid dan mengajukan pertanyaan kepada asistennya itu, “Syid, kalau gurumu mempunyai tiga orang murid, siapakah yang tidak lebih pandai dan juga tidak lebih bodoh darimu?“


Dengan cepat dan tepat Kang Rosyid menjawab, “Ya saya sendiri Kiai.“
“Nah lihatlah betapa cerdasnya dia!“ kata kiai Imam kepada Kiai Amin.
Kiai Amin ingin mempraktekkan ilmu yang baru saja didapatnya itu. Maka dipanggillah asistennya yang sangat ia percaya selama ini, Kang Santo namanya. “Santo, seandainya gurumu mempunyai tiga orang murid, siapakah yang tidak lebih pandai dan juga tidak lebih bodoh darimu?“ tanya Kiai Amin kepada Kang Santo.
Kang Santo hanya terdiam dan bingung. “Bolehkah saya menanyakannya kepada santri yang lain Kiai?“ kata Kang Santo setelah lama terdiam.
“Boleh, silahkan.“
Kang Santo menemui temannya, Kang Shodiq, dan bertanya, “Kang Shodiq, kalau gurumu mempunyai tiga orang murid, siapakah yang tidak lebih pandai dan juga tidak lebih bodoh darimu?“
“Ya, saya sendiri Kang,“ jawab Kang Shodiq cepat dan tepat. Kemudian Kang Santo segera menghadap Kiai Amin. “Bagaimana San, jadi siapa yang tidak lebih pandai dan juga tidak lebih bodoh darimu?“ Dengan percaya diri Santo menjawab, “Kang Shodiq, Kiai.“
Kiai Amin hanya bisa mengelus dada sambil ngendika, “Masya Allah San, masak gitu saja salah. Yang bener itu Kang Rosyid, tahu!“

Kebodohan itu suatu keburukan tetapi lebih buruk lagi kebodohan yang tidak disadari. Orang yang tidak menyadari kebodohannya tidak mau membuka diri untuk menerima ilmu, nasihat apalagi kritik. Mereka ini cenderung sombong. Dia salah tetapi merasa benar, dia tersesat tetapi mengira di jalan yang tepat.
Menyadari kebodohannya sendiri adalah pintu gerbang kepandaian. Orang yang menyadari kebodohannya akan membuatnya rendah hati dan dengan rela hati dia bersedia menambah ilmunya, menerima nasihat dari siapa saja dan menerima kritik bahkan dari musuhnya sekalipun. Orang seperti inilah yang pantas disebut kaum cendekiawan. Sebagaimana Imam Syafi‘i yang walaupun ilmunya luar biasa luas dan tingginya tetap dengan rendah hati berkata:

Aku benar tetapi punya kemungkinan salah
Kamu salah tetapi punya kemungkinan benar
Merasa paling benar sendiri adalah penghalang paling kuat bagi perkembangan ilmu. Mereka menganggap orang lain salah maka pendapat orang lain tak pantas didengarkan. Orang seperti ini akan terkungkung dalam kebodohan dan akan hidup laksana katak dalam tempurung.
Dalam dunia sufi ada istilah takhalli, tahalli dan tajalli. Takhalli adalah pengosongan, tahalli adalah pengisian dan tajalli adalah penampakan (bahasa jawa: ngeja wantah). Penerapannya dalam tata cara menuntut ilmu adalah sebagai berikut.
Syarat utama memperoleh ilmu adalah merasa bodoh (jadi ini takhalli: pengosongan, kosong dari ilmu). Dengan demikian dia bisa diisi. Lha kalau dia merasa penuh ya bagaimana mengisinya?

Tidak ada komentar:

Berlalu